2. Kado Perkawinan Bik Gendut ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ AKU punya seorang Bibik yang tinggal di desa. Bik Gendut panggilannya. Hampir setiap minggu Bibik datang ke rumah kami. Setiap kali datang ia membawa oleh-oleh banyak sekali. Ada kue onde-onde, juadah, bangkwang, ubi, nanas, dan tak ketinggalan dua ekor ayam. “Ini buat Ine, buat Tuti, buat Wulan dan, Iwan,” demikian Bik Gendut berkata sambil membagikan oleh-oleh itu kepada kami. Kami mengelilingi Bik Gendut persis orang berebut tanda tangan. Mencium tangannya satu persatu. Lalu segera membawa oleh-oleh itu ke belakang, termasuk ayam. Dua ekor ayam itu, kata Bik Gendut, harus dipelihara baik-baik supaya menghasilkan telur. “Daripada kalian beli telur ke warung, lebih baik ambil telur sendiri di kandang. Uangnya bisa ditabung, bukan?” demikian nasihat Bibik. Ia memang terkenal hemat. Bik Gendut adalah adik kandung Ibu. Ia merupakan anak terbungsu dan Lima bersaudara. "Bibik sering datang kemari karena ingin melepas kerinduannya pada kalian. Karena itu, sayangilah Bibik,” kata ibu. Kasihan Bibik. Ia tinggal seorang diri di desa bersama Nenek. Ia belum bersuami. Tentu ia sering merasa kesepian. “Kapan kawin, Bik?” tanya Tuti suatu hari. “Nanti kalau sang Arjuna sudah pulang dari berburu!” jawab Bibik. “Ah, Arjuna mana yang mau sama gadis endut?” olok Iwan. Wajah Bibik cemberut, dan kami tertawa tengelak-gelak. Untunglah Bibik tidak marah oleh canda Iwan yang keterlaluan itu. “Biarin gendut, yang penting dompetnya juga ikut gendut. Kalau tidak, bagaimana Bibik bisa membelikan oleh-oleh buat kalian?” demikian jawab Bibik. Setelah itu ia ikut tertawa-tawa. Demikianlah, Bibik tetap rajin datang ke kota untuk menjenguk kami. Kebiasaannya membawa oleh-oleh itu tak pernah ketinggalan. Alangkah senang hati kami. “Bagaimana ayam-ayam yang kubawa kemarin? Apakah sudah bertelor?” tanyanya suatu hari. “Semuanya tidak ada yang mau pelihara ayam, Bik, kecuali Wulan!” jawab Tuti. “Kenapa tidak Iwan saja? Dia kan anak lelaki?” kata Bibik. “Iwan gak tahan sama bau tainya, Bik!” jawab Iwan sambil menutup hidung. “Curang kamu. Ogah bau tahi ayam tapi hampir setiap hari makan telur dadar!” protesku. Iwan hanya cengar-cengir. “Wah, kamu tidak boleh begitu, Iwan. Lain kali harus kau bantu kakakmu Wulan membersihkan kandang,” nasehat Bibik. “Ogah ah. Iwan mau sama kue onde-onde Bibik saja!” sahut adikku yang bandel itu. Kami terpaksa tertawa. “Biar saya saja yang mengerjakan, Bik. Wulan suka kok beternak ayam,” ujarku. “Bagus, Wulan. Ingat, Nenekmu di desa adalah saudagar telur. Semoga kelak kau bisa mencontohnya. Nanti kalau ayam itu bertelur, kau akan rasakan hasil jerih payah keringatmu,” kata Bibik. “Insya Allah ayam itu akan segera bertelur, Bik. Kemarin kulihat berkali-kali ia dikawini ayam jago di kebun belakang,” jawabku. “Bagus. Jangan lupa, bila telurnya kau jual, uangnya harus kau tabung!” nasihat Bibik. Aku hanya mengangguk. “Ayam saja bisa kawin berkali-kali, tapi kenapa Bibik tak menikah-menikah?” tanya Iwan tiba-tiba. “Bibik sedang menunggu Arjuna pulang dan berburu,” jawab Bibik, singkat. “Ah, Arjuna mana yang mau kawin sama gadis yang bertambah endut?” olok Iwan lagi. Mendengar gurauannya itu, kami dibuat tengelak-gelak. Sedangkan Bibik hanya senyum-senyum mendengar canda Iwan yang memang keterlaluan itu. Untunglah, lagi-lagi Bibik tak marah. Memang tubuh Bibik belakangan ini kulihat bertambah gemuk. Tapi semenjak Iwan mengeluarkan olok-olok kedua kalinya itu, kini Bik Gendut tidak datang-datang lagi ke kota. Kami merasa kuatir. Ada apa gerangan dengan Bibik? Marahkah ia? Kami dibuat bertanya-tanya. Ataukah ía sedang sakit? Mengapa tidak ada kabar? Biasanya, kalau Bibik tidak bisa datang, ia selalu memberitahu kami lewat telepon. Tapi sudah beberapa bulan ini tidak ada telpon dari Bik Gendur. Sementara kami tidak bisa menghubungi Bibik, sebab rumahnya di desa belum dipasangi telpon. Bibik sendiri setiap kali nelpon selalu lewat wartel. Entah mengapa, tiba-tiba rasa kangen berkecamuk dalam benak kami. Terutama kangen dengan oleh-oleh kue onde-ondenya yang lezat itu. “jangan-jangan Bibik sakit,” kata Tuti. “Ah, mana mungkin orang sesehat itu bisa sakit?” tukasku. “Siapa tahu? Gajah saja bisa mati kemasukan semut!” kata Ine pula. “Bibik tidak sakit,” sahut Iwan tiba-tiba. “Mungkin ia hanya bertambah gendut saja, sehingga saking gendutnya tak bisa berjalan kemari,” sambungnya. Mendengar gurauan Iwan itu, kami tertawa. *** SORE itu tiba-tiba kami mendapat kabar dari Ayah bahwa Bik Gendut besok akan melangsungkan perkawinan. Mendengar kabar tersebut kami kaget bukan main. Mengapa begitu mendadak? “Besok kita semua kesana untuk menghadiri pernikahannya. Bawalah kado seperlunya!” kata ibu pula. Segera kami dibuat sibuk mencari kado yang tepat untuk Bik Gendut. Tuti, kakakku nomor satu, kulihat pergi ke Toko Prapatan. Ia membeli seperangkat alat makan. Ada piring, sendok dan gelas. Ine, kakakku nomor dua, membungkus kain kebaya. Kain itu dibelinya di toko batik. Bibik tentu akan senang menerimanya. Kedua kakakku itu memiliki uang karena rajin menabung. Lalu Iwan, adik bungsuku yang paling bandel itu, sibuk mengotak-atik mobil-mobilannya yang belum begitu rusak. Ia mengelapnya hingga mengkilat kembali. “Lho, kok kadonya mobil-mobilan?” tanyaku heran ketika Iwan membungkusnya dengan kertas kado. “Buat anak Bik Gendut kalau sudah lahir nanti. Mudah-mudahan anaknya lelaki!” jawabnya sambil menyeka peluh yang meleleh di dahinya. Aku tersenyum geli dalam hati. Ah, Iwan, Iwan ... kau ini aneh. Anak belum lahir kok sudah diberi kado. Beginilah kalau pemberitahuan datangnya terlalu mendadak. Coba kalau kami mengetahui seminggu atau beberapa hari sebelumnya bahwa Bibik akan menikah, tentu kami dapat mempersiapkan hadiah-hadiah yang lebih menarik. Ah, Bibik barangkali ingin membuat kejutan dengan pemberitahuan mendadak uni, demikian batinku. Tapi aku sendiri akhirnya dibuat pusing. Belum kutemukan hadiah yang tepat untuknya. Aku tak mungkin bisa membeli barang-barang berharga seperti kakak-kakakku, sebab aku tak punya uang berlebih. Tabunganku sudah habis kubelikan buku-buku cerita. Seandainya tersisa maka tak mungkin cukup untuk membeli perkakas makanan seperti yang dibeli Kak Tuti, atau kain batik seperti milik Kak Wulan. Apa dayaku? Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba kutatap buku-buku cerita koleksiku. Bagaimana kalau Bibik kuhadiahi buku-buku itu saja? Ini mungkin hadiah yang tepat, demikian pikirku. Tapi, bagaimana kalau Bibik tak hobi membaca? Lagi pula, koleksi buku ceritaku kebanyakan cerita anak-anak. Mana mungkin Bibik senang membaca cerita anak-anak? Saat menatap buku-buku itu, tiba-tiba sebuah ide baru muncul di kepalaku. Tentu ada buku lain yang Iebih tepat untuk Bibik! Maka sore itu, dengan uang yang masih tersisa dalam dompet, aku pergi ke toko buku. Di sana kulihat jejeran buku yang jumlahnya ribuan. Mataku segera terpaku pada sebuah buku berjudul “Pernikahan Islami, Membentuk Keluarga Sakinah”. Ah, inilah buku yang tepat itu, demikian lonjakku. Segera kubeli ia. Harga buku, betapapun lebih murah dibandingkan selembar kain batik, tapi isinya kukira lebih berharga dan segalanya. Sesampainya di rumah, kubungkus buku itu dengan kertas kado yang rapi. Tak lupa di dalamnya kulampiri secarik kertas berisi puisi tulisanku sendiri. Puisi itu bunyinya begini: Selamat menempuh hidup baru, Bik Gendut Selamat menyibak kabut Hanya buku ini yang dapat kupersembahkan untuk perkawinan Bik Gendut Semoga isi dompet Bibik tambah gendut Dan semoga rukun selalu sampai kakek nenek... Salam sayang, Wulan. Sebelum kumasukkan ke dalam bungkusan, kubaca sekali lagi puisi itu. Aku tertawa sendiri dalam hati. Aku yakin Bibik senang pula membacanya. *** ESOK harinya, tepat pukul sembilan pagi, kami berangkat dengan kereta. Rumah Bibik cukup jauh. Seturun dari stasiun, kami masih harus naik bus lagi untuk menuju ke desanya yang terletak di kaki sebuah bukit. “Pasti suami Bik Gendut tampan seperti Arjuna,” celetuk Tuti di kereta. “Iya, soalnya Bibik sendiri juga cantik,” tambah Ine. “Tapi sayang...,” potong Iwan. “Kenapa?” hampir bersamaan kami bertanya sambil menoleh ke arahnya. “Endut!” jawab Iwan. Dan kami tertawa terpingkal-pingkal dl dalam kereta itu. Dalam perjalanan tersebut kami terus menerka-nerka dan membayangkan bagaimana rupa Arjuna Bik Gendut yang sudah lama dinanti oleh Bibik pulang dari berburu itu. Selelah hari agak sore, barulah kami sampai di desanya. Perkawinan Bik Gendut ternyata dirayakan besar-besaran. Ada pentas musik tradisional di panggung. Bahkan malamnya akan diadakan pertunjukan wayang golek. Banyak tamu yang datang. Begitu tiba di dalam, kami segera ternganga-nganga melihat penampilan Bik Gendut. Meskipun gendut, Bibik nampak cantik sekali hari itu; bahkan seperti bidadari yang baru turun dari kahyangan. Ia duduk berdampingan di kursi pengantin bersama seorang lelaki gagah bertubuh tinggi besar, berkumis melintang dan dadanya berbulu lebat. “Ini mah bukan Arjuna,” bisik Iwan di tengah-tengah keramaian perayaan pernikahan itu sambil melirik ke pengantin lelaki. “Lalu siapa?” tanya kami hampir bersamaan. "Werkudara.... alias Bima Sena!” jawab Iwan. Sekali lagi kami tertawa. Iwan memang paling bisa membuat banyolan. Segera kami masuk dan menyalami Bibik. Bik Gendut memeluk dan menciumi pipi kami satu persatu. Bibik menangis terisak-isak. Air matanya menetes melihat kedatangan kami. Air mata bahagia. Kami sangat terharu. *** SEMINNGU kemudian, ketika aku sedang membaca buku di beranda rumah, Kak Tuti memanggii-manggilku. “Ada telpon dari Bik Gendut. Cepat!” teriaknya dari ruang tengah. Terburu-buru aku mengambil gagang telpon itu. “Assalamu’alaikum. Ini Wulan?” segera kukenali suara itu dari seberang sana. “Wa'alaikum salam. Benar, Bik,” jawabku. “Wah, terima kasih banyak atas kadonya, ya? Buku itu sudah Bibik baca dan langsung tamat. Puisimu juga bagus,” kudengar suara Bibik penuh kegembiraan di sana. Aku senyum-senyum. “Maafkan ya, Bik. Wulan tidak bisa memberi hadiah yang lebih menarik seperti punya Kak Ine dan Kak Tuti,” kataku. “Kadomu bagi Bibik lebih berharga dibandingkan kado lainnya, Wulan. Isi buku itu bagus, dan sangat bermanfaat. Semoga Bibik bisa mengamalkannya,” sambung Bibik. “Tapi, Bik,” sahutku kemudian. “Uang yang Wulan pakai untuk membeli buku itu... adalah uang Bibik juga.” “Maksudmu?” “Ayam pemberian Bibik sudah bertelur. Telurnya Wulan jual ke tetangga. Wah, ternyata laku. Mereka malah minta lagi. Uangnya Wulan tabung sedikit demi sedikit. Telur ayam kampung sangat sulit dicari di kota,” terangku. Bibik tertawa di seberang sana. “Alhamdulillah... semoga ayam-ayam itu tambah banyak telurnya. ” “Ya, sebanyak dan segendut isi dompet Bik Gendut!” sahutku. Kembali Bibik tertawa-tawa di seberang sana. Aku pun turut tertawa. Lalu, tiba-tiba, terdengarlah di kebun samping suara, “tok-tok petok! Tok-tok petok!” “Halo, Bik..? Apakah Bibik mendengar suara itu?” “Haa? Suara apa?” “Si Blorok berkotek lagi.” “Itu tandanya dia mau bertelur!” Aku tambah gembira. Ya, itulah suara kotek si Blorok, ayam pemberian Bibik itu. Ia terus saja berkotek, tok tok petok! Tok tok petok! ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================